Dua orang pengembara sedang melakukan perjalanan. Mereka telah melintasi
Jejakan kaki mereka meliuk-liuk di belakang. Membentuk kurva yang berujung di setiap langkah yang mereka tapaki. Debu-debu pasir yang beterbangan memaksa mereka berjalan merunduk.
“Ah..,tamatlah riwayat kita,” kata pengembara pertama. Lalu ia menulis di pasir dengan ujung jarinya.
“Kami sedih. Kami kehilangan bekal minuman kami di tempat ini.”
Kawannya, si pengembara dua pun nampak pelek dengan sikap rakan pengembaranya. Namun, mereka tetap tabah menempuhnya. Mereka bersiap kembali untuk meneruskan perjalanan. Setelah sekian lama menapak di
“Kita selamat,” seru salah seorang di antara mereka.
“Lihat, ada air di
“Kami bahagia. Kami dapat melanjutkan perjalanan karena menemukan tempat ini.”
Pengembara kedua heran.
“Mengapa kini engkau menulis di atas batu, sementara tadi kau menulis di pasir??” Yang ditanya tersenyum.
“Saat kita mendapat kesusahan, tulislah semua itu di atas pasir. Biarkan angin keikhlasan membawanya jauh dari ingatan. Biarkan catatan itu hilang bersama menyebarnya pasir ketulusan. Biarkan semuanya lenyap dan pupus,”jawabnya dengan bahasa cukup puitis.
“Namun,ingatlah saat kita mendapat kebahagiaan. Pahatlah kemuliaan itu di batu agar tetap terkenang dan membuat kita bahagia. Torehlah kesenangan itu di kerasnya batu agar tak ada yang dapat menghapusnya. Biarkan catatan kebahagiaan itu tetap ada. Biarkan semuanya tersimpan.”
Bekal air minum telah di persiapkan, istirahat telah mencukupi, kini saatnya untuk melanjutkan perjalanan. Kedua pengembara itu melangkah dengan ringan seringan angin yang bertiup mengiringi.
Teman, kesedihan dan kebahagiaan selalu hadir. Berselang-seling mewarnai panjangnya hidup ini. Keduanya mengimbau memori di hamparan pikiran dan hati kita. Namun, adakah kita bersikap seperti pengembara tadi yang mampu menuliskan setiap kesedihan di pasir agar angin keikhlasan membawanya pergi??
( dari buku Kekuatan Cinta)